![]() |
Edited by Me |
Setiap orang punya masa paling berat dalam hidupnya. Mungkin sekitar Januari tahun lalu, seorang teman yang kukenal dari komunitas buku menghubungiku untuk bertemu. Kami pernah dekat tetapi kehadirannya kala itu berbeda. Dia mengatakan ada masalah dengan semua orang; pacarnya mengekangnya, ayahnya dalam keadaan sakit keras yang tak bisa membuat beliau melakukan aktivitas, ibunya selalu memintanya uang padahal segala yang dia punya telah diserahkan, belum lagi masalah pekerjaannya. Dia meracau, lalu menangis setelahnya. Dia bahkan sempat mengatakan bahwa dia ingin mengakhiri hidupnya. Aku yang kala itu merasa hidupku tidak ada apa-apanya hanya bisa mendengarkan—membiarkan dirinya mengeluarkan segala yang ingin dikeluarkannya. Dia kebingungan dan kerap tiba-tiba diam di sela-sela curhatannya—dua tanda depresi yang aku tahu sebagai orang awam.
Dia terus menghubungiku dan meminta bertemu. Awalnya, aku merasa risih karena aku pernah punya rasa padanya dan aku ingin menguburnya. Aku juga punya prioritas lain yang perlu diurusi. Namun, aku bertanya dalam hati: Bagaimana kalau aku berada dalam posisinya? Mungkin cuma aku yang dibutuhkannya saat itu dan menceritakan semuanya dari awal lagi kepada orang lain sungguh melelahkan. Meluluhkan ego, aku menerima untuk terus berhubungan dengannya. Kadang kami bertemu selepas jam kantor, kadang kami bertemu saat akhir pekan—pernah suatu hari kami menghabiskan waktu seharian penuh mengunjungi Perpusnas dan Monas. Aku kemudian muncul dengan pemikiran bahwa berada di sampingnya cukup untuk menghilangkan rasa depresinya walau barang sejenak.
Aku tahu, aku tahu. Aku sok tahu tentang dia yang mungkin depresi. Kala itu, aku tidak bilang padanya bahwa dia depresi—demi Tuhan, siapa aku bisa mendiagnosis seseorang memiliki “sesuatu”. Aku cuma bilang dia mungkin sedang berada dalam masa-masa terberatnya—masa terkelamnya. Aku hanya bersabar menemaninya—cuma itu yang kulakukan. Dan, hei, itu salah satu dari daftar bagaimana bersanding dengan seseorang yang menderita depresi atau kecemasan dalam “Reasons to Stay Alive” karya Matt Haig. Buku yang membuatku lebih paham tentang depresi dan kecemasan.